Rabu, 11 Juni 2014

filsafat sains

        

Filsafat Sains

Rangkuman materi kuliah Filsafat Sains
1.      Pengertian filsafat sains.
2.      Sejarah perkembangan filsafat sanis
3.      Epistemology ilmu
4.      Sains normal dan revolusi sains (kuhn)
5.      Perkembangan ilmu pengetahuan
6.      Logika,dedukasi,dan induksi
7.      Penemuan penelitian, organisasi dan penemuan
8.      Sifat manusia
9.      tanggung jawab ilmuwan 
PENGERTIAN FILSAFAT SAINS
         1.      Pengertian Filsafat Sains
     Falsafah ialah satu disiplin ilmiah yang mengusahakan kebenaran yang bersifat umum dan mendasar. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang berarti love of wisdom atau mencintai kebenaran. Empat hal yang melahirkan fil-safat yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya dan keraguan. Ketakjuban terhadap segala sesuatu (terlihat/tidak) dan dapat diamati (dengan mata dan akal budi) serta ketidakpuasan akan penjelasan berdasarkan mitos membuat manusia mencari penjelasan yang lebih meyakinkan dan berpikir rasional. Hasrat bertanya membuat manusia terus mempertanyakan segalanya, tentang wujud sesuatu serta dasar dan hakikatnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh penjelasan yang lebih pasti menun-jukkan adanya keraguan (ketidakpastian) dan kebingungan pada manusia yang bertanya.Ciri berpikir secara filsafati adalah radikal (berpikir tuntas, atau mendalam sampai ke akar masalah); sistematis (berfikir logis dan terarah, setahap demi setahap); dan universal (berpikir umum dan menyeluruh, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu, tetapi melihat masalah secara utuh) dan ranah makna (memikirkan makna terdalam berupa nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan).  Dalam filsafat, digunakan nalar dan pernyataan-pernyataan untuk menemukan kebenaran dan pengetahuan akan fakta. Ketika menyelesaikan masalah secara falsafah, seseorang tidak harus merujuk pada sumber lain tapi hendaknya bisa menjawab masalah yang dipikirkannya menggunakan akal budinya, dengan pikiran yang bebas. Jika seseorang berfikir sangat dalam ketika menghadapi suatu masalah dalam hubungannya dengan kebenaran, maka orang itu dapat dikatakan telah berpikir secara filsafati dan kajian yang tersusun oleh pemikirannya itu disebut falsafah.Objek material dari suatu kajian filsafat adalah segala yang ada mencakup apa yang tampak (dunia empiris) dan apa yang tidak tampak (dunia metafisik) sementara objek formalnya adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan rasional tentang segala yang ada (objek material). Suatu masalah akan menjadi masalah falsafah jika masalah tersebut tidak bisa diselesaikan dengan kaidah pengamatan atau kaidah sains.Masalah falsafah biasanya melibatkan masalah tentang konsep, ideologi, dan masalah-masalah lain yang bersifat abstrak, contohnya apakah kebenaran? Apakah ilmu pengetahuan? Berpikir filsafati biasanya bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah yang sifatnya baik dan bisa memajukan umat manusia. Sains berarti ilmu, yaitu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu dan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan. Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan ilmu. Jika ilmu terbatas hanya pada persoalan empiris, maka filsafat mencakup masalah diluar empiris. Secara historis, ilmu berasal dari kajian filsafat karena pada awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada secara sistematis, rasional dan logis. Filsafat merupakan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.Perkembangan kajian terkait dengan masalah empiris menimbulkan spesialisasi keilmuan dan menghasilkan kegunaan praktis. Sehingga, filsafat sains merupakan disiplin ilmu yang digunakan sebagai kerangka dasar/landasan berpikir bagi proses keilmuan. Seorang ilmuwan yang mampu berfikir filsafati, diharapkan bisa mendalami unsur-unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga bisa memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang dikembangkannya, termasuk manfaatnya bagi pengembangan masyarakatnya.


SEJARAH  PERKEMBANGAN FILSAFAT  SAINS
1. Pengertian Filsafat Sains
        Masyarakat primitif menganut pemikiran mitosentris yang mengandalkan mitos guna menjelaskan fenomena alam. Perubahan pola pikir dari mitosentris menjadi logosentris membuat manusia bisa membedakan kondisi riil dan ilusi, sehingga mampu ke-luar dari mitologi dan memperoleh dasar pengetahuan ilmiah. Ini adalah titik awal ma-nusia menggunakan rasio untuk meneliti serta mempertanyakan dirinya dan alam raya  .
1.      Filsafat kuno dan abad pertengahan  yaitu Di masa ini, pertanyaan tentang asal usul alam mulai dijawab dengan pendekat-an   rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai mengambil jarak dari objek (alam) sehingga kerja logika (akal pikiran) mulai dominan.  Sebelum era Socrates, kajian difokuskan pada alam yang berlandaskan spekulasi metafisik. Menurut Heraklitos (535-475 SM), realita di alam selalu berubah, tidak ada yang tetap (api sebagai simbol perubahan di alam) sementara Parmenides (515-440 SM) mengatakan bahwa realita di alam merupakan satu kesatuan yang tidak bergerak sehingga perubahan tidak mungkin terjadi. Pada era Socrates, kajian filosofis mulai menjurus pada manusia dan mulai ada pemikiran bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Beberapa filosof populernya adalah Socrates (479-399 SM), Plato (427-437 SM) dan Aristotles (384-322 SM). Socrates mendefinisikan, menganalisis dan mensintesa kebenaran objektif yang universal melalui metode dialog (dialektika).  Satu pertanyaan dijawab dengan satu jawaban.  Plato mengembangkan konsep dualisme (adanya bentuk dan persepsi).  Ide yang ditangkap oleh pikiran (persepsi) lebih nyata dari objek material (bentuk) yang dilihat indra.  Sifat persepsi tidak tetap dan bisa berubah, sementara bentuk adalah sesuatu yang tetap. Aristotles menyatakan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Filsuf ini juga memperkenalkan silogisme, yaitu penggunaan logika berdasarkan analisis bahasa guna menarik kesimpulan. Silogisme memiliki dua premis mayor dan satu ke-simpulan sehingga, suatu pernyataan benar harus sesuai dengan minimal dua pernyataan pendukung. Logika ini disebut juga dengan logika deduktif yang mengukur valid tidaknya sebuah pemikiran.   Pada abad pertengahan (abad 12–13 SM) mulai dilakukan analisis rasional terhadap sifat-sifat alam dan Allah, analisis suatu kejadian/materi, bentuk, ketidaknampakan, logika dan bahasa. Salah satu filsufnya adalah thomas Aquinas (1225- 1274) .
2.      Filsafat modern (abad 15 – sampai sekarang) yaitu  Berkembang beberapa paham yang menguatkan kedudukan humanisme sebagai dasar dalam perkembangan hidup manusia dan pengetahuan. Paham rasionalisme me-nyatakan bahwa akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh dan menguji pengetahuan. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan menyisihkan pengetahuan indra. Menurut Rene Descartes (paham rasionalisme dan skeptisme), pengetahuan yang benar harus berangkat dari kepastian. Untuk memastikan kebenaran sesuatu, segala sesuatu harus diragukan terlebih dahulu. Keragu-raguan membuat manusia bertanya/mencari jawaban untuk memperoleh kebenaran yang pasti (manusia harus berpikir rasional untuk mencapai kebenaran).  Pada paham empirisme, segala sesuatu yang ada dalam pikiran didahului oleh pengalaman indrawi. Pengetahuan dikembangkan dari pengalaman indra secara konkrit dan bukan dari rasio.  Menurut John Locke (empirisme dan naturalisme), pikiran awalnya kosong. Isi pikiran (ide) berasal dari pengalaman indrawi (lahiriah dan batiniah) terhadap substansi (benda) di alam. David Hume (skeptisme dan empirisme) mengatakan ide atau konsep didalam pikiran berasal dari persepsi (kesan terhadap pengalaman indrawi) dan gagasan (konsep makna dari kesan) terhadap suatu substansi, bukan dari substansinya. Sementara menurut Francis Bacon, pengetahuan merupakan kekuatan untuk menguasai alam.  Pengetahuan diperoleh dengan metode induksi melalui eksperimen dan observasi terhadap suatu fenomena yang ingin dikaji.  Paham lainnya adalah idealisme yang dianut Barkeley: ada disebabkan oleh adanya persepsi; dan paham idealisme – kritisisme yang dikembangkan Imanuel Kant. Menurut Kant, hakikat fisik adalah jiwa (spirit) dan pengetahuan adalah hasil pemikiran yang dihubungkan dengan pengalaman indrawi. Paham ini menggabungkan konsep rasionalisme dengan empirisme.  Paham positive-empiris (Aguste Comte) menyatakan bahwa realita berjalan sesuai dengan hukum alam sehingga pernyataan pengetahuan harus bisa diamati, diulang, diukur, diuji dan diramalkan. Sementara paham pragmatisme William James menyatakan kebenaran suatu pernyataan diukur dari kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (bermanfaat) dalam kehidupan praktis.  Pernyataan dianggap benar jika konsekuensi dari pernyataan tersebut memiliki kegunaan praktis bagi manusia.

EPISTEMOLOGI ILMU
1.Pengertian Epistemologi Ilmu
    Sains (Ilmu) adalah sistem pengetahuan dibidang tertentu yang bersifat umum, sistematis, metodologis, logis, objektif, empiris, memuat dalil-dalil tertentu menurut kaidah umum, berguna untuk mencari kebenaran ilmiah yang kemudian bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia. Ilmu merupakan  kumpulan pengetahuan yang menjelaskan hubungan sebab akibat suatu objek yang diteliti berdasarkan metode tertentu, yang merupakan satu kesatuan sistematis. Sementara itu, pengetahuan merupakan bentukan pola pikir asosiatif antara pikiran dan kenyataan yang didasarkan pada kumpulan pengalaman sendiri/orang lain di suatu bidang tertentu tanpa memahami hubungan sebab akibat yang hakiki dan universal diantaranya sehingga tidak masuk dalam kelompok ilmu karena belum dapat menjelaskan pertanyaan mengapa. Filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen‑komponen yang menjadi tiang penyangga eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemology dan aksiologi.
1.      Ontologi (hakikat apa yang dikaji) yaitu Dalam kajian ontologis, objek dibahas dari keberadaannya mencakup lingkup batas jati diri (being) dan keberadaan eksistensi penelaahan objek (sasaran) keilmuan serta penafsiran tentang hakekat (kenyataan) yang khas dari objek keilmuan, guna membentuk konsep tentang objek (alam nyata, baik universal ataupun spesifik). Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang akan menentukan pendapatnya tentang apa dan bagaimana (yang) ada sebagai manifestasi kebenaran yang dicarinya. Beberapa contoh pertanyaan yang merupakan persoalan ontologi misalnya apa eksistensi dari zat padat? Apa itu sel? Bagaimana penjelasan elektronik, termodinamika atau hukum gravitasi?
2.      Epistemologi (filsafat ilmu)  yaitu Epistemologi adalah teori tentang pengetahuan yang terkait dengan cara memperoleh pengetahuan dan metode keilmuan. Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai ilmu pengetahuan membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran ilmu .Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Rasio, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model‑model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, fenomenologi dan sebagainya. Di dalam epistemologi juga dibahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik be­serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko­herensi, korespondesi paragmatis dan teori intersubjektif. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan (ilmu), maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun ilmu tersebut harus benar. Ilmu tentang suatu objek dikembangkan berdasarkan analisis yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris dan menggunakan bahasa, matematika dan statistika sebagai sarana berpikir ilmiah. Kebenaran ilmu dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta (kenyataan empiris) yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, dan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak sehingga terjadi penyempurnaan teori atau paradigma yang akhirnya membawa ilmu tersebut menjadi sains normal.  Contoh
dari epistemologi ilmu dibahas dalam materi sains moral.
3.      Aksiologi ilmu (nilai kegunaan ilmu) yaitu Aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya, netralitas ilmu hanya pada ontologis keilmuan sementara dalam penggunaannya harus berlandaskan moral dan ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiga hal yang mendasari alasan ini adalah: secara faktual telah diketahui bahwa ilmu digunakan untuk tujuan destruktif (perang); perkembangan ilmu memungkinkan ilmuwan memprediksi ekses yang mungkin timbul jika terjadi penyalahgunaan ilmu dan perkembangan ilmu telah sedemikian rupa sehingga berpeluang mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan rekayasa sosial.  Agar kegunaan ilmu itu tidak menjadi bencana bagi manusia dan kemanusiaan, maka seorang ilmuwan haruslah melandasi kegiatan ilmiahnya dengan asas-asas moral dan kode etik profesinya dengan penuh tanggung jawab.
SAINS NORMAL DAN REVOLUSI (KUHN)
1.  Sains Normal dan Revolusi Sains (Kuhn)
1.     Peran sejarah yaitu Rekaman sejarah ilmu merupakan titik awal pengembangan ilmu karena merupakan rekaman akumulasi konsep untuk melihat bagaimana hubungan antara pengetahuan dengan mitos yang berkembang.  Sejarah ilmu digunakan untuk mendapatkan dan mengkonstruksi wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang terjadi.  Hal-hal baru yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting bagi pengembangan ilmu di masa berikutnya.  Dari sejarah juga dapat dilihat bahwa sains bukan hasil penemuan individual.
Sains lebih dicirikan oleh paradigma dan revolusi yang menyertainya. Dari rekaman sejarah ilmu bisa diketahui bahwa terjadinya perubahan-perubahan mendalam tidak didasarkan pada upaya empiris untuk membuktikan suatu teori atau sistem, tetapi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Sehingga,
kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner dan bukan kumulatif. Pergeseran paradigma adalah istilah untuk menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai filsafat. Pergeseran paradigma merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu kemajuan.
2.     Paradigma dan sains normal  yaitu Paradigma merupakan kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun kegiatan ilmiah nyata yang diterima dalam periode tertentu. Saat  pertama kali muncul, masih sangat terbatas baik cakupan maupun ketepatannya tetapi menjanjikan suatu keberhasilan. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari saingannya dalam memecahkan masalah keilmuan yang dianggap rawan. Paradigma membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal sehingga ilmuwan bisa mengembangkan secara rinci dan mendalam, dan tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Pada sains normal, ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya. Tiga fokus kajian sains normal adalah memperluas pengetahuan tentang fakta, meningkatkan kesesuaian antara prakiraan paradigma dan artikulasi lebih lanjut untuk memecahkan beberapa keraguan yang tersisa, untuk memperkuat citra sains.  Kegiatan ilmiah ada dua yaitu pemecahan teka-teki (puzzle solving) dan penemuan paradigma baru. Pada sains normal, ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.
3.     Anomali dan munculnya penemuan baru yaitu Berbagai fenomena (anomali) bisa dijumpai oleh seorang ilmuwan selama menjalankan riset di sains normal. Jika anomali kian menumpuk, akan timbul krisis dan paradigma mulai dipertanyakan yang berarti sang ilmuwan mulai keluar dari sains normal.
Data anomali (penyimpangan terhadap teori-teori dalam paradigma) berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru. Penemuan baru diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni pengakuan bahwa alam dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas ke wilayah anomali dan hanya berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian
antara fakta dengan teori yang baru.
4.     Revolusi sains yaitu Revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang makin parah dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi sains.Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan.  Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.  Jalan revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri karena dalam memilih paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud. Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain dimana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda, berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas risetnya tidak berguna sama sekali.
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
1.     Perkembangan Ilmu Pengetahuan
  Ilmuwan yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, maka proses pendidikan hendaknya bukan sekedar untuk mencapai suatu tujuan akhir tapi juga mempelajari hal-hal yang dilakukan untuk mencapai tujuan akhir tersebut. Sehingga, ilmuwan selain sebagai orang berilmu juga memiliki kearifan, kebenaran, etika dan estetika. Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergantian dan penyerapan teori. Kemunculan teori baru yang menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah yang tidak bisa diselesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset, menyebabkan berkembangnya paradigma baru yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya (mela-hirkan revolusi sains). Tumbuh kembangnya teori dan pergeseran paradigma adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Berkembangnya peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu. Contoh epistemologi ilmu dimana terjadi perubahan teori dan pergeseran paradigma terlihat pada perkembangan teori atom, teori pewarisan sifat dan penemuan alam semesta.Dalam perkembangan ilmu, suatu kekeliruan mungkin terjadi terutama saat pembentukan paradigma baru. Tetapi, yang harus dihindari adalah melakukan kesalahan yang lalu ditutupi dan diakui sebagai kebenaran
1.   Perkembangan teori atom yaitu Konsep atom dicetuskan oleh Leucippus dan Democritus (abad ke-6 SM): materi (segala sesuatu di alam) secara fisik disusun oleh sejumlah benda berukuran sangat kecil (atom). Atom merupakan partikel yang sangat kecil, padat dan tidak bisa dibagi, bergerak dalam ruang dan bersifat abadi. Menurut John Dalton (1766–1844) setiap unsur kimia dibentuk oleh partikel yang tak bisa diurai (atom). Pergeseran paradigma terjadi ketika ternyata dibuktikan bahwa atom masih bisa dibagi dan memiliki elektron (J.J. Thomson,1856–1940) dan proton (E. Goldstein, 1886). Pengetahuan bahwa atom bisa dibagi membuat ilmuwan lalu mereka-reka struktur atom. Thomson, menganalogikan atom seperti roti tawar dengan kismisnya, dimana elektron dan partikel positif terdistribusi merata. Dari penelitian E. Rutherford (1871-1937) disimpulkan bahwa elektron mengorbit mengelilingi nukleus. Postulat ini diperbaiki oleh J. Chadwick (1891–1974): atom memiliki sebuah inti yang terdiri dari nuklei, dan elektron-elektron yang mengorbit mengelilinginya; dan lalu disempurnakan oleh Niels Bohr yang mempertimbangkan efek kuantisasi energi atom. Teori-teori atom dan strukturnya masih terus disempurnakan. Saat ini mulai terjadi anomali yang menggugat paradigma yang sudah ada. Murray Gell-Mann (1964) mengatakan, proton dan netron masih bisa dibagi menjadi quark.
2.   Perkembangan teori pewarisan sifat yaitu  Pemikiran tentang pewarisan sifat sudah ada sejak jaman dulu. Plato dengan paham esensialismenya menjelaskan, setiap orang merupakan bayangan dari tipe ideal. Esensinya, manusia adalah sama dan keragaman di dunia tidak ada artinya. Perkembangan teori ini diawali dengan dilema yang dihadapi Darwin: apa penyebab variasi dan apa yang mempertahankan variasi? Menurut F. Galton, setiap anak menuju kecenderungan rata-rata dari sifat induknya. Sifat-sifat hereditas kontinyu dan bercampur, anak adalah rata-rata dari kedua orang tua, maka variasi tidak ada. Sementara menurut Darwin, keragamanlah yang penting, bukan rata-rata tetapi Darwin belum bisa menjelaskan mengapa keragaman tersebut bisa terjadi. Hipotesa sementaranya menjelaskan bahwa kopi sel dari setiap jaringan yang dimasukkan kedalam darah (gemmules)-lah yang memproduksi keragaman ketika gemmule dibentuk dan dikonversi kembali menjadi sel tubuh pada saat reproduksi. Tapi, perjalanan sejarah ilmu perkembangan sel selanjutnya membuktikan bahwa hipotesis ini salah. Mendell yang melakukan persilangan kacang dan menghasilkan varietas yang berbeda, mulus dan keriput tapi tidak ada yang di tengah-tengah, menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang diturunkan bersifat diskrit, ada yang dominan dan ada yang resesif, tapi tidak bisa bercampur. Teori inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar pengembangan teori pewarisan sifat.
3.   Perkembangan teori tata surya yaitu Prediksi peredaran matahari, bintang, bulan dan gerhana sudah dilakukan bangsa Baylonia, 4000 tahun yang lalu. Kosmologi Yunani (4SM) menyatakan bumi pusat dan semua benda langit mengitari bumi. Konsep ini dipatahkan Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat sistem tata surya dan bumi bergerak mengelinginya dalam orbit lingkaran. Teori Copernicus menjadi landasan awal pengembangan ilmu tentang tata surya.Seorang ilmuwan berada pada posisi dimana dia memiliki pengetahuan yang berdasarkan pada fakta (factual knowledge). Tetapi, fakta itu tidak berarti walaupun bisa menjadi instrumen jika tidak diaplikasikan. Aplikasi dari suatu kajian ilmu hendak-lah mempunyai nilai kegunaan (aksiologis) yang memberi makna terhadap kebenaran atau ke­nyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Kajian filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran fundamental. Seorang ilmuwan, hendaklah mengkaji kebenaran fundamental dari suatu alternatif pemecahan masalah yang disodorkannya. Seorang ilmuwan juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi perspektif yang benar terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi dan alternatif pemecahannya secara keilmuan kepada mayarakat awam. Dengan penguasaan ilmunya, seorang ilmuwan juga hendaknya bisa mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seharusnya mereka sadari. Sebagai contoh, kajian ilmu bioteknologi, revolusi hijau (bibit unggul, pestisida, pupuk kimia) dan tanaman transgenik telah meningkatkan factual knowledge yang dimiliki. Tetapi, ketika akan diaplikasikan ke masyarakat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah, misalnya aplikasi tanaman transgenik untuk mengatasi produksi pangan yang terus menurun, maka kita perlu mempertanyakan kebenaran fundamental yang ada dibelakangnya. Apa penyebab masalah yang sebenarnya? Apa saja alternatif pemecahan masalahnya? Apakah alternatif yang diajukan memang alternatif terbaik untuk mengatasi masalah? Bagaimana kajian keuntungan dan resiko dari alternatif yang dipilih ini? Bagaimana dampaknya terhadap kemanusiaan, lingkungan, ekonomi dan sistim sosial masyarakat? Hal-hal ini harus dipelajari dan dijawab oleh ilmuwan sebelum alternatif ini benar-benar dipilih untuk mengatasi suatu masalah. Sehingga tidak terjadi kasus dimana aplikasi dari suatu factual knowledge ternyata pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi manusia, lingkungan, sosial ataupun aspek lain dari kehidupan masyarakat.
LOGIKA DEDUKASI DAN UNDKSI
1.      Logika  Deduksi dan Induksi
1.       Logika  Ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang ditata sehingga menampilkan pola-pola yang teratur dan berlaku secara umum. Menurut paham empirisme, pengetahuan diperoleh melalui pengamatan atas fakta yang ditemukan di alam; sementara menurut paham rasionalisme, kebenaran pengetahuan hanya dapat ditemukan melalui proses pemikiran atau penalaran.  Proses berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang berupa ilmu pengetahuan disebut proses bernalar. Penalaran menghasilkan ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan.  Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran, maka proses berpikir harus dilakukan dengan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan dianggap sahih (valid) jika proses penarikan kesimpulannya dilakukan menurut cara tertentu tersebut yang disebut logika.   Logika dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih.  Paham empirisme melakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika induktif, sementara penganut paham rasionalisme melakukan penarikan kesimpulan dengan logika deduktif. Logika induktif digunakan untuk penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan umum. Sedangkan logika deduktif biasanya membantu kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Misalnya, kita memiliki fakta bahwa harimau, gajah, sapi, kera dan ayam memiliki mata maka kita menarik kesimpulan umum bahwa semua binatang memiliki mata. Pada penalaran dengan logika deduktif, kesimpulan yang ditarik merupakan konsekuensi logis dari fakta-fakta yang mendasarinya sehingga dilakukan penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dengan menggunakan pernyataan yang bersifat umum menggunakan pola arad silogisme. Silogisme dibentuk oleh dua pernyataan aradox (premis mayor dan premis minor) dan kesimpulan yang ditarik secara logis dari dua premis pendukungnya.  Sebagai contoh: jika semua makhluk hidup memiliki mata (premis mayor-umum) dan si Polan adalah makhluk hidup (premis minor) maka si Polan mempunyai mata (kesimpulan).
2.       Pertumbuhan, pergantian dan penyerapan teori yaitu Ilmu atau pengetahuan ilmiah dikembangkan dengan menggabungkan pendekatan rasionalis dan pengalaman empiris sehingga suatu pernyataan ilmiah merupakan penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Metode deduksi digunakan untuk menemukan aturan-aturan yang berlaku secara pasti, dengan bersandar pada aksioma yang kebenarannya telah ditentukan sementara metoda induksi digunakan untuk menguji apakah aksioma yang digunakan tersebut dapat terus dipertahankan sehingga ara dikembangkan lebih lanjut) atau tidak. Interaksi logika deduksi dan induksi dalam alur berpikir metode ilmiah ditampilkan pada Gambar 1. Suatu penjelasan rasional yang belum teruji kebenarannya secara empiris statusnya masih bersifat hipotesis. Hipotesis disusun secara deduktif menggunakan premis-premis dari ilmu yang sudah diketahui kebenarannya, sebagai dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu masalah.
Proses induksi dilakukan pada tahap verifikasi atau pengujian hipotesis, dimana dilakukan pengumpulan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah hipotesis didukung oleh fakta (dapat dibuktikan) atau tidak. Penggunaan logika deduksi dan induksi secara berkesinambungan inilah yang menyebabkan terjadinya
pertumbuhan, pergantian dan penyerapan suatu teori (ilmu).
                                                                                                                        
PENEMUAN PENELITIAN ORGANISASI
1.  Penemuan Penelitian Organisasi Dan Penemuan
1.     Penemuan dan sifat peneliti yaitu  Penemuan ilmiah merupakan suatu keterbaruan (novelty) yang menambah pengetahuan manusia dan berkontribusi pada ekonomi global dan standar hidup manusia, memecahkan masalah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat contohnya melalui kesehatan arado, peningkatan masa hidup dan peningkatan produksi pangan.  
Penemuan identik dengan jenius, intelegensia dan motivasi yang kuat. Tapi pada hakekatnya, penemuan adalah hasil dari penerapan logika dan metoda dalam upaya pemecahan masalah, pengembangan cara pandang (insight), menerangkan fakta (analogy-based
, bisosiasi atau metaforik). Penemuan ilmiah didapat melalui kerangka kerja dan metoda ilmiah terstruktur walaupun kadang disertai oleh faktor keberuntungan. Proses penemuan diawali dengan kemunculan ide-ide spekulatif, hipotesis kerja yang luas, skema konseptual yang lebar (teori) dan pengujian eksperimental dari teori dengan metode ilmiah. Tahapan kerja dalam suatu metode ilmiah adalah pengembangan hipotesa, pengumpulan data, pengembangan atau perbaikan hipotesa, pengumpulan atau pengujian data lebih lanjut dan pengembangan suatu teori. Faktor individual yang diperlukan untuk pembentukan suatu ide adalah adanya keterbukaan intelektual dan sensibilitas terhadap masalah; memiliki pengetahuan iptek yang luas; memiliki pengetahuan terapan yang terlatih; memiliki pemikiran yang terbuka dan motivasi untuk keberhasilan; punya kemampuan untuk meyakinkan; memiliki daya nalar kritis, spontanitas yang rasional, dan keterbukaan untuk kerjasama horizontal dan
Vertikal serta masuk dalam dinamika kelompok.  Organisasi dan penemuan Faktor-faktor organisasi berperan penting dalam penemuan program-program saintifik karena mempengaruhi kinerja riset, proses penemuan dan alokasi sumberdaya riset. Agar ara bekerja dengan standar yang baik maka sains harus dilakukan dalam suatu prosedur  opersasi standar (SOP). Dalam realitas, penemuan tidak menyebar merata tapi terkonsentrasi di pusat-pusat budaya unggul (Centre of Excellence). Budaya sebagai ’penemu’ biasanya dimiliki oleh arado-negara yang dana risetnya sangat memadai, memiliki kelembagaan ilmiah yang sangat mapan dengan sistem dan manajemen riset sangat baik, lingkungan universitas kreatif – produktif dan didukung oleh kelembagaan filantropis. Untuk membangun organisasi yang inovatif, beberapa hal harus terpenuhi: memiliki visi, kepemimpinan dan keinginan berinovasi dengan struktur yang tepat (kreativitas tinggi); memiliki personalia kunci (promotor, juara, penjaga gawang dan pemeran lain) yang mendorong inovasi; tim kerja yang efektif (sinergi internal); pengembangan individual yang berkelanjutan (kompetensi dan keterampilan yang efektif); komunikasi ekstensif (ke atas, ke bawah dan sejajar); keterlibatan yang tinggi pada inovasi dan fokus pada pelanggan serta memiliki lingkungan yang kreatif dan organisasi pembelajaran (manajemen pengetahuan). Delapan instrumen pengukuran budaya inovatif yaitu kebutuhan, konfrontatif, kepercayaan, kebenaran/keaslian, proaktif, otonomi, kerjasama dan melakukan pengkajian. Efektifitas dan efisiensi penelitian berpengaruh pada produktifitas dan prestasi penelitian yang dihasilkan. Bagaimana pentingnya kinerja organisasi terhadap suatu penemuan bisa dilihat dari kerja tim penelitian yang dibentuk Prof. Norman Borlaug yang secara konsisten berupaya mencari varietas gandum unggul untuk mengatasi kekurangan pangan di Meksiko. Program pengembangan pertanian ini disponsori oleh The Rockefeller Foundation. Lalu, peran organisasi terhadap pencapaian bisa dilihat dari upaya ’Bank Desa’ yang didirikan Prof. Muhammad Yunus sehingga mampu menciptakan pembangunan dan perdamaian melalui penciptaan ekonomi yang memberi akses pada perempuan miskin. Agar suatu penemuan bisa membawa kesejahteraan pada masyarakat, maka budaya penelitian yang dibangun hendaklah berorientasi pada kebutuhan masyarakat.  Seorang peneliti atau lembaga peneliti harus melakukan sinergi internal agar penelitian menjadi fokus, efektif dan efisien. Selanjutnya, setiap lembaga penelitian harus melakukan sinergi eksternal dengan melibatkan universitas dan swasta. Peneliti memiliki ’patokduga’ di tingkat regional (untuk menghadapi kompetisi langsung), pada negara maju (untuk membangun kesadaran iptek), dan pada swasta unggul (untuk membentuk kompetensi inti). Penelitian juga hendaknya mengutamakan pemanfaatan sumberdaya tersedia, berorientasi pada kebutuhan pasar/pengguna, menciptakan nilai tambah yang besar serta konsisten dengan tahapan penelitian, pengembangan, rekayasa proses/mesin dan komersialisasi.Jendela johari merupakan matriks empat sel yang merfeleksikan perwujudan hubungan antara seseorang dengan pihak lain. Empat matriks dalam konsep ini adalah daerah arado; daerah buta; daerah tersembunyi dan daerah yang tidak disadari (Gambar 1).


Gambar 1. Refleksi diri melalui jendela johari
Menurut konsep ini, pengungkapan diri (perluasan daerah A) dilakukan dengan pengungkapan diri (penyempitan daerah C), dan menerima umpan balik (penyempitan dae-rah B). Seorang ilmuwan dengan daerah arado (A) yang luas, memiliki konsep diri positif: berkepribadian matang, percaya diri, tidak takut gagal dan siap menghadapi tantangan dan hal ini sangat penting untuk memenuhi ritme kerja ilmuwan yang seharusnya bekerja keras dan cerdas, melakukan analisa dan sintesa, presentasi, publikasi, travel dan tampil di media massa.
1.      Hamlet’s Case Seorang manusia apalagi ilmuwan, harus memiliki kematangan emosi, mampu berpikir rasional dalam menghadapi berbagai masalah dan mampu mengambil keputusan terbaik walaupun pada kondisi tekanan yang sangat tinggi. Ketidaksiapan mental dalam menghadapi tekanan ara mengakibatkan kesalahan pada saat harus mengambil suatu keputusan rasional yang akan berdampak fatal jika keputusan itu menyangkut hidup orang banyak. Kita ara belajar dari kasus Hamlet (karya Ernest Hemingway yang sangat aradox), yang menggambarkan seorang individu yang tidak ara membuat suatu keputusan. Ketidakmampuan membuat keputusan rasional ini selain karena masalah psikologi, juga karena keterbatasan informasi yang tersedia untuk membuat keputusan. Kasus ini mengajarkan bahwa keputusan yang diambil dalam keadaan tidak menentu, menyebabkan konsekuensi dari terjadinya kesalahan (galat) tidak mampu terpikirkan.
2.      Paradoks dan Dilema Paradoks atau Lawan Asas merupakan suatu pernyataan yang benar atau sekelompok pernyataan yang mengarah pada kontradiksi atau suatu keadaan yang menentang intuisi sementara aradox merupakan salah satu bentuk aradox yang terjadi karena suatu fakta bahwa suatu pilihan rasional dari seseorang ternyata menghasilkan keluaran yang rendah mutunya (inferior) bagi pihak yang lainnya. Tema-tema umum dalam aradox yang langsung maupun tidak langsung termasuk rujukan diri, ketidakterbatasan, definisi sirkular dan kebingungan dalam level penalaran. Paradoks yang bukan karena kesalahan tersembunyi biasanya terjadi karena pemahaman yang tidak tepat terhadap konteks atau bahasa. Dalam falsafah moral, aradox berperanan penting dalam debat-debat mengenai masalah etika. Contoh nyata aradox adalah konflik diantara pemahaman perasaan ketika harus mencuri (atau korupsi), melawan suatu “keharusan” untuk korupsi guna menafkahi keluarga yang kekurangan.
3.      Emotional spiritual quotient (ESQ )Manusia yang diinginkan adalah manusia sukses yang mulia. Tapi, banyak orang sukses ternyata tidak mulia sebaliknya, tidak banyak yang mulia tetapi tidak sukses. ESQ merupakan kearifan sosial yang diwujudkan oleh kepandaian dan kematangan jiwa yang mencukupi dan didorong oleh pemahaman spiritual yang mencukupi. ESQ yang merupakan integrasi antara IQ, EQ dan SQ diperlukan untuk menjadi manusia paripurna/insan mulia (Gambar 2). Dalam kubik leadership artikulasi ketiganya diwakili oleh tiga pimpin (keyakinan-aksi-pekerti). Karakter penting untuk manusia pembelajar menjadi insan mulia adalah bertakwa pada Tuhannya, mencintai pekerjaan; berikhtiar; ber-tawakal; bersyukur; bersabar dan istiqomah. Dalam perjalanan menjadi insan yang sukses dan mulia, unsur-unsur positif dikedepankan, dan unsur-unsur negatif dikikis habis.


             Gambar 2. Integrasi antara IQ EQ dan SQ terhadap pembentukan manusia

TANGGUNG JAWAB ILMUWAN
1.       Tanggung Jawab Ilmuwan  
    Ilmu berkembang dari pengetahuan dengan dasar-dasar pembenaran .  Implikasi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan adanya hubungan erat antar cabang ilmu, dipertanyakannya nilai-nilai etik dan moral saat intervensi ilmu dalam kegiatan ilmiah dan adanya pengaruh ilmu (positif/negatif) pada kehidupan.
1.     Tanggung jawab ilmuwan   membawa berkah dan nilai kemakmuran bagi manusia tanpa meninggalkan tata nilai, etika, moral dan filosofi.  Seorang ilmuwan memiliki kemampuan untuk bertindak persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan analisis dan sintesis untuk mengubah kegiatan non produktif menjadi produktif.  Seorang ilmuwan bertanggung jawab untuk.
a.   Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (berpikir, melakukan penelitian dan pengembangan; menumbuhkan sikap  positif-konstruktif; meningkatkan nilai tambah dan produktivitas; konsisten dengan proses penelaahan keilmuan; menguasai bidang kajian ilmu secara mendalam; mengkaji perkembangan teknologi secara rinci; bersifat terbuka; professional dan mempublikasikan temuannya .
b.  Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menemukan masalah yang sudah/akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dan mengkomunikasikannya, menemukan pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat, membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggunakan hasil penemuan untuk kepentingan kemanusiaan, mengungkapkan kebenaran dengan segala konsekuensinya dan mengembangkan kebudayaan nasional.
2.      Moral Seorang ilmuwan hendaknya memiliki moral yang baik sehingga pilihannya ketika memilih pengembangan dan pemilihan alternatif, mengimplementasikan keputusan serta pengawasan dan evaluasi dilakukan atas kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan sesaat. Moral dan etika yang baik perlu ke-pekaan atas rasa bersalah, kepekaan atas rasa malu, kepatuhan pada hukum dan kesadaran diketahui oleh Tuhan.  Ilmuwan juga memiliki kewajiban moral untuk memberi contoh (obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, berani mengakui kesalahan) dan mampu menegakkan kebenaran.
3.      Etika kerja seorang ilmuwan adalah nilai-nilai dan norma-norma (pedoman, aturan, standar atau ukuran, baik yang tertulis maupun tidak tertulis) moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; kumpulan asas atau nilai moral (Kode Etik) dan ilmu tentang perihal yang baik dan yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA








Tidak ada komentar:

Posting Komentar